Dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi terhadapat laju pertumbuhan ekonomi dinilai sangat minim, kata ekonom dari OCBC Bank Gundy Cahyadi.
"Menurut pandangan kami berdasarkan pengalaman di Maret dan Oktober 2005 dan juga Mei 2008, sebenarnya dampaknya terhadap laju pertumbuhan ekonomi terlihat sangat minim dan bisa jadi dianggap tidak ada dampak sama sekali," kata Gundy dalam keterangan pers yang diterima Antara di Jakarta, Jumat.
Namun, lanjut Gundy, dampak kenaikan harga BBM bersubsidi berbeda terhadap inflasi. Menurutnya, jika memang pemerintah jadi menaikan harga BBM bersubsidi ini ke Rp 6000 per liter (33 persen lebih tinggi dari harga sekarang).
Menurut dia terdapat kemungkinan yang tinggi kalau tingkat inflasi rata-rata untuk tahun ini mencapai sekitar 6,8 persen jauh lebih tinggi dari target BI di 3,5-5,5 persen.
"Tingkat inflasi sendiri bisa jadi akan melejit ke sekitaran 8 persen untuk rata-rata di tiga bulan pertama setelah kenaikan ini terjadi," ujar Gundy.
Selanjutnya, hal ini biasanya akan membuat adanya respons dari BI dengan kenaikan suku bunga BI rate, seperti memang seperti yang juga terjadi di tahun 2005 dan 2008.
Secara teori, ini biasanya mengakibatkan adanya aksi sell-off, terutama di pasar obligasi yang bisa membuat Rupiah juga ikut melemah, tuturnya.
"Walau bagaimana pun, kita juga perlu sadari bahwa pengurangan subsidi BBM ini merupakan satu langkah yang secara fundamental sebenarnya sangat positif untuk Indonesia," kata Gundy.
Dia menambahkan, bukan tidak mungkin Rupiah nantinya malah akan menguat cukup signifikan, apalagi kalau kebijakan ini berhasil untuk membantu posisi current account Indonesia.(ant)
No comments:
Post a Comment